TRISULAMALUKU.COM, Seram Bagian Timur – Kebijakan Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Fahri Husni Alkatiri terkait program hilirisasi sagu mendapat gelombang kritik tajam dari masyarakat adat. Alih-alih mensejahterakan, program yang digembar-gemborkan pemerintah ini justru dinilai sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang mengancam hak ulayat dan masa depan ekonomi rakyat pemilik pohon sagu.
Aktivis Maluku asal SBT, Jihat Buano, menilai kebijakan tersebut hanya menguntungkan pemerintah dan investor, sementara masyarakat adat akan menjadi korban. Menurutnya, sagu tidak bisa diperlakukan layaknya padi sawah atau tanaman hortikultura yang cepat panen.
“Satu batang sagu punya nilai ekonomi besar. Itu bisa menyekolahkan anak-anak sampai kuliah, bisa biayai hidup keluarga di kampung. Kalau dipaksa dengan dalih hilirisasi, rakyat adat hanya akan dijajah, tanah ulayat bisa dirampas dengan alasan pembangunan,” tegas Jihat.
Bupati Dinilai Salah Kaprah
Jihat menilai, Bupati SBT gagal memahami filosofi dan nilai ekonomi sagu bagi masyarakat adat. Budidaya pohon sagu membutuhkan waktu panjang, 10–15 tahun hingga siap panen. Karena itu, program hilirisasi yang dipaksakan tanpa persiapan jelas akan menghantam hak hidup rakyat.
“Sagu bukan cabai atau tomat yang bisa ditanam dan dipanen cepat. Kalau Bupati mau hilirisasi, silakan siapkan kebun sagu milik pemerintah lebih dulu. Jangan mengincar sagu milik rakyat adat yang sudah turun-temurun jadi penopang hidup,” tambahnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kebijakan hilirisasi berpotensi menjadi pintu masuk perampasan hak masyarakat adat. Dengan label pembangunan, pemerintah dan investor bisa saja menekan rakyat untuk menyerahkan sagu milik mereka.
“Ini jelas ketidakadilan. Rakyat dipaksa menyerahkan hasil bumi, sementara penguasa dan investor yang menikmati keuntungan. Lama-lama tanah ulayat dan hutan sagu bisa habis dirampok dengan alasan proyek hilirisasi,” ujar Jihat.
Di akhir pernyataannya, Jihat mengajak masyarakat adat SBT untuk bersatu menolak hilirisasi sagu yang hanya menjadi alat kepentingan politik dan bisnis segelintir elit.
“Jangan biarkan Bupati membawa rakyat ke jurang penindasan dengan dalih pembangunan. Hilirisasi ini bukan untuk kesejahteraan, tapi untuk memperkaya penguasa. Rakyat adat harus lantang bersuara, karena diam berarti menyerahkan hak hidup pada penjajahan gaya baru,” tutupnya. (*